"Air Mata" Putra Dayak Terbayar Di PBB

id Air Mata Putra Dayak Terbayar Di PBB, Hutan kalimantan,

"Air Mata" Putra Dayak Terbayar Di PBB

Jaya Wirawana Manurung.

Kegagalan proyek sejuta hektare lahan gambut di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah yang mengakibatkan hilangnya harta benda 82.000 jiwa rakyat suku Dayak Ngaju akan terbayarkan setelah Gubernur Agustin Teras Narang diundang ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Kehilangan harta benda itu bukanlah permata, emas atau peralatan rumah tangga, melainkan habisnya pepohonan, kebun rotan maupun karet hingga air sungai kering akibat proyek Eks proyek lahan gambut (PLG) yang dimulai tahun 1996.

"Harta tertinggi bagi masyarakat Suku Dayak adalah hutan. Jika hutan habis, maka habislah masyarakat Suku Dayak," kata Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, di Kapuas, beberapa waktu lalu.

Mengetahui proyek PLG gagal, Teras yang bersuku Dayak Ngajuk itu kesal, sedih hingga mengucurkan air mata. Dia terus membayangkan membayangkan nasib Bue (kakek/nenek, mina (tante/paman) maupun anak-anak yang hidup di lokasi PLG tanpa harta tertinggi, yakni hutan.

Saking kesal terhadap kegagalan proyek PLG, pria kelahiran 12 Oktober 1955 itu memberikan plesetan menjadi proyek lahan sejuta sengsara. "Tidak. Tidak lahan sejuta Sengsara, tapi 1,4 juta Sengsara," tegas Teras.

Kesal dan sedih terus menerus bukan solusi. Harus bergerak dan bertindak. Kata itu terus menerus berada di pikiran pria yang pernah menjadi Anggota DPR RI dua periode dari daerah Pemilihan Kalteng.

Tindakan yang pertama sekali dilakukan adalah berdiskusi dan berjuang bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Namun, upaya tersebut sulit berhasil tanpa dukungan Pemerintah Provinsi maupun Kabupate/Kota se Kalteng serta Pemerintah Pusat.

"Ketika dipercaya masyarakat memimpin Provinsi Kalteng periode 2005-2010, pertama sekali yang saya lakukan adalah bagaimana merehabilitasi dan merevitalisasi hutan. Itu," kata Gubernur Kalteng dua periode tersebut.



Minimnya APBD

Menyadari minimnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kalteng di tahun 2005 hanya Rp596,07 miliar dan tidak sebanding dengan provinsi yang luasnya 1,5 dari pulau Jawa, maka rehabilitasi dan revitalisasi harus melibatkan Negara lain.

Bagaikan gayung bersambut. Isu pemanasan global kala itu menjadi isu dan perhatian di seluruh Dunia, khususnya yang tergabung di organisasi perserikatan bangsa-bangsa. Teras pun merespon isu itu dan memanfaatkan jaringan serta pengalamannya saat menjadi DPR RI.

Negara yang pertama dilibatkan Gubernur Kalteng itu adalah Belanda. Geografis negara ini hampir sama dengan Kalteng karena dikelilingi air, sehingga dikenal sangat pintar mengelola dan memberdayakan rawa.

"Saya bilang ke perwakilan Belanda saat itu, saya tidak minta uang mu. Saya hanya minta dibuatkan Action Plan merehabilitasi dan merevitalisasi hutan. Syukur, Belanda membuat Action Plannya," kata ayah dari tiga putri ini.

Merehabilitasi dan merevitalisasi hutan di lokasi PLG sejuta hektare pun menjadi perhatian dunia. Berbagai proyek, seperti Central Kalimantan Peatland Project (CKPP), Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP), Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+).

Perlahan namun pasti, keprihatinan dan air mata melihat kegagalan proyek PLG sejuta hektar justru membawa Teras Narang dikenal bahkan diminta menjadi pembicara di berbagai Negara di Dunia. Terbaru, Sekjen PBB Ban Ki Moon mengundang Teras Narang menjadi pembicara di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim di New York, 23 September 2014.

"Berbicara di hadapan para pemimpin dunia terkait deforestasi sangat penting dan kepercayaan yang luar biasa bagi Kalteng maupun Indonesia. Saya merasa bangga dan bersyukur undangan yang disampaikan langsung dari Sekjen PBB itu, kata Teras Narang.

Libatkan masyarakat adat

Gubernur Kalteng Teras Narang, mengatakan materi yang nantinya akan disampaikan dalam KTT Iklim di New York 23 September 2014, pentingnya keterlibatan masyarakat adat menjaga, merehabilitasi dan merevitalisasi hutan.

Selain itu, lanjut dia, menyampaikan betapa pentingnya pembangunan yang berkelanjutan dan point penting dari deklarasi Rio Branco di Brasil beberapa waktu lalu.

"Deforestasi dan pembangunan yang berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat adat sangat penting. Itu yang dilakukan Kalteng sehingga upaya Rehabilitasi dan revitalisasi bisa berjalan," kata Teras.

Keterlibatan tersebut akan meningkatkan kesejahteraan dan mengembangkan tanggungjawab komunitas untuk pemeliharaan lingkungan hidup, hutan dan gambut sesuai nilai serta kearifan sosial dan budaya.

Upaya tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan budidaya jamur, anyaman rotan, mengembangkan budidaya keramba ikan, maupun penguatan kelompok tani karet.

"Itu semua telah dilakukan di Kalteng, dan tentunya harus disesuaikan dengan daerah maupun Negara masing-masing. Intinya keterlibatan masyarakat adat sangat penting,` kata dia.

Walau jabatan Teras Narang sebagai Gubernur Teras Narang akan segera berakhhir di tahun 2015, namun dirinya berjanji akan konsisten dan tetap mendukung suksesnya program REDD+ di provinsi berjuluk "Bumi Tambun Bungai" itu.

Ia mengatakan kalteng tidak lagi sekedar pilot project melainkan perintis program REDD+ bahkan dikenal di seluruh Dunia, sehingga harus terus didukung dan dilaksanakan.

Siapapun pemimpin Kalteng ke depan, program REDD+ harus tetap dijalankan agar 'air mata' masyarakat suku Dayak akan terbayarkan bila program ini berkelanjutan.




(T.KR-JWM/B/Z003/Z003)