Ketika Petani Tambak Mengalah Pada Alam

id Ketika Petani Tambak Mengalah Pada Alam, tambak,

Ketika Petani Tambak Mengalah Pada Alam

Fahrian Adriannoor. (Istimewa)

Kuala Pembuang (Antara Kalteng) - Tidak seperti biasanya, siang itu, Jumat (17/10), tak ada aktivitas di lahan milik petani tambak di Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah.

Puluhan hektare atau bahkan ratusan lahan tambak meski sedikit berlumpur tampak kering kerontang, semua tampak tenang, di pondok yang biasanya ramai sebagai tempat petani tambak beristirahat juga sepi.

Dari kejauhan di tengah teriknya matahri terlihat seorang pria mengenakan kaos oblong hitam berbalut kain sarung, duduk di tepi tambak dekat pondok kayu berukuran kecil, ia memandangani hamparan lahan tambak yang mengering dengan tatapan kosong.

Ia adalah Jupri (50), warga asal Jepara Jawa Tengah yang merantau 12 tahun silam ke Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan, sengaja untuk menekuni usaha tambak ikan dan udang.

"Tak seperti biasa, tahun ini kemarau panjang, akhirnya kita gagal panen, bahkan kita harus gagal sebelum sempat menebar benih ikan atau udang," kata Jupri, Jumat.

Kondisi kemarau panjang disertai tiupan angin laut yang kencang sudah terjadi sejak Juni lalu hingga sekarang, dan Jupri adalah salah satu petani tambak dari ratusan petani di Seruyan yang dipaksa mengalah pada kekuatan alam. Tak ada yang dapat mereka lakukan sampai musim berganti.

Apabila tidak dilanda kekeringan, tahun ini seharusnya Jupri dapat memanen ikan sebanyak empat kali, namun hingga Juni lalu ia hanya sempat memanen ikan bandeng sebanyak dua kali.

"Perhitungannya setiap tiga bulan panen, tapi sepertinya kita memang tidak dapat melawan kehendak Tuhan, dengan kondisi sekarang kita tidak banyak beraktivitas, biasanya hanya membersihkan lahan tambak saja," katasnya.



Bergantung Pada Alam

Pria paruh baya yang sudah pergi ke bebagai daerah di Indonesia untuk menekuni usaha tambak ini bercerita, kalau bertambak di kabupaten berjuluk `Bumi Gawi Hatantiring' tidak semudah yang dibayangkan, cuaca tak bersahabat juga sering datang tiba-tiba.

Selain itu, di kabupaten terluar bagian selatan Pulau Kalimantan ini tak ada teknologi yang benar-benar mumpuni untuk mengubah kondisi alam dan cuaca agar menjadi bersahabat dengan para petani tambak.

"Saya sudah pergi ke bebagai daerah, dari tempat asal saya di Jepara hingga ke Lampung, di sini yang paling sulit, karena perubahan cuaca yang datang secara tiba-tiba," tuturnya.

Musim kemarau panjang seperti ini sudah dialami oleh Jupri untuk yang ketiga kalinya sejak ia menekuni usaha tambak ikan di Kuala Pembuang. Sampai ia pun dapat berkesimpulan bahwa musim kemarau panjang di Kuala Pembuang akan terjadi setiap empat tahun sekali.

"Sepertinya siklus kemarau panjang di sini terjadi empat tahun sekali, di mana air pasang tidak terlalu tinggi sehingga tidak mampu mengairi lahan-lahan tambak," katanya.

Menurut dia, pernah suatu ketika akibat perubahan cuaca yang datang secara tiba-tiba, banyak petani tambak harus memanen udang lebih awal karena angin yang bertiup kencang membuat udang-udang mati kehabisan oksigen di dalam air tambak.

"Makanya kalau petani yang menabur udang ke tambak harus jaga-jaga dengan meyiapkan kincir angin untuk mengerakkan baling-baling yang ditanam dalam air, tujuannya agar udang-udang tidak kehabisan oksigen," katanya.

Kondisi tanah dengan kandungan zat asam yang tinggi juga telah menjadi faktor penghalang nelayan tambak untuk mendapat ikan dan udang dengan ukuran maksimal.

"Kadar asam yang diukur dengan satuan pH di cukup rendah, pH-nya hanya 4,6, padahal minimal 6, bagus lagi kalau 7, akibatnya tingginya zat asam dan kurangnya oksigen membuat ikan atau udang sulit besar, jadi semakin asam suatu zat, semakin turun kadar pH, begitu juga sebaliknya semakin basa suatu zat semakin tinggi kadar pH," katanya.

Jupri yang mempunyai tambak tidak kurang dari lima hektare mengatakan, ketika awal membuka tambak pada 2002, tidak kurang dari satu ton kapur yang ditabur ke lahan tambak untuk mengurangi tingkat keasaman yang begitu tinggi.

Oleh karena itu, ia sudah lama beharap kepada pemerintah agar dapat mencarikan solusi lewat kemajuan teknologi untuk menghadapi kondisi para petani tambak.

"Sebenarnya, kalau mau diusahakan mungkin solusinya pasti ada, seperti untuk mengisi air di tambak agar tidak kering, bisa saja disiasati dengan mesin pompa air, kalau sekarang kita lebih banyak bergantung pada alam saja, dan akibatnya kita tidak jarang dipaksa mengalah oleh kekuatan alam," katanya.

Selain kemarau panjang ditambah kondisi tanah yang kurang bersahabat, ternyata kabut asap yang melanda daerah lain seperti di Sampit, Kotawaringin Timur dan Palangka Raya juga membawa masalah tersendiri bagi petani tambak di Seruyan.

Seperti yang dialami oleh Darko (45), nelayan tambak udang di Kuala Pembuang, saat ini, ia lebih banyak berkativitas untuk membersihkan lahan tambak, karena suplai benih udang dari Pulau Jawa dan Bali terganggu, akibat pesawat yang membawa benih udang tak dapat mendarat.

"Benih udang tiger yang kita pesan dari Surabaya, Jawa Timur hingga kini masih belum datang, katanya pesawat tidak dapat mendarat karena terkendala asap," katanya.

Meski tambak di daerah lain banyak mengering, berbeda dengan tambak seluas kurang lebih empat hektare yang dikelola olehnya masih terisi air, ia menyiasati musim kemarau ini dengan menggunakan pompa air untuk memasukkan air ke dalam tambak.

Menurut dia, musim kemarau dengan kadar garam air yang cukup tinggi adalah waktu yang ideal untuk menabur benih udang jenis tiger, jadi perhitungannya kalau ditabur sekarang maka pada Desember sudah bisa panen.

"Tapi kalau bibitnya saja tidak ada, apa yang mau ditabur, kalau kabut asap masih menghalangi penerbangan di daerah lain, maka kita juga tidak dapat berbuat banyak, karena suplai bibit kita masih bergantung dari daerah lain," katanya.




(T.KR-JWM/B/H-KWR/H-KWR)