Duh! Lagi-Lagi Aksi Pencurian "Sapundu" Masih Terjadi di Seruyan

id Seruyan, Kuala Pembuang, Lagi-Lagi Aksi Pencurian Sapundu Masih Terjadi Di Seruyan, Sapundu, budaya

Duh! Lagi-Lagi Aksi Pencurian "Sapundu" Masih Terjadi di Seruyan

Salah satu Sapundu serta Sandung tempat meletakkan tulang orang meninggal setelah upacara Tiwah tertua di Desa Bangkal Kecamatan Seruyan Raya, Kalteng yang dibuat tahun 1931 (Foto Antara Kalteng/ Fahrian Adriannoor)

Kuala Pembuang (Antara Kalteng) - Pencurian situs budaya bernilai tinggi seperti "Sapundu" (tiang pengikat hewan korban saat upacara adat Tiwah) masih saja terjadi di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.

"Sapundu yang ada di Seruyan memang masih sering dicuri," kata Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Bangkal Kecamatan Seruyan Raya, Esho di Desa Bangkal, Sabtu.

Ia mengatakan, untuk di Desa Bangkal saja jumlah Sapundu yang hilang jumlahnya sudah mencapai puluhan, dan rata-rata Sapundu yang hilang karena pencurian usianya ada yang sudah ratusan tahun.

"Kita memang tidak bisa memastikan jumlah Sapundu yang hilang, tapi kita perkirakan jumlahnya sudah puluhan, dan Sapundu yang hilang itu usianya sudah sangat tua," katanya.

Menurutnya, maraknya aksi pencurian benda-benda kuno di "Bumi Gawi Hatantiring" khususnya Sapundu karena harga jualnya yang begitu tinggi, bahkan satu buah Sapundu yang sudah berusia ratusan tahun bisa dihargai hingga miliaran rupiah.

Selain itu, Sapundu yang berupa ukiran patung dari kayu ulin menjadi incaran kolektor barang antik karena nilai sejarah serta seni yang unik berbeda dengan patung pada umumnya.

"Karena nilainya yang begitu tinggi tadi, maka Sapundu ini akhirnya menjadi sasaran pencurian," katanya.

Pencurian Sapundu sangat melukai perasaan umat Kaharingan. Bagi umat Kaharingan, Sapundu bukan hanya sebatas patung dengan nilai seni dan sejarah, tapi juga bagian dari keyakinan sehingga sangat dihargai, sakral dan tidak terbayar dengan uang serta nilai keduniaan.

Sapundu yang fungsinya sebagai tiang untuk mengikat hewan kurban saat upacara adat tiwah itu adalah perlambang kasih sayang dan bakti terhadap leluhur.

Keberadaan Sapundu selalu berdampingan menghiasi Sandung yang menjadi tempat meletakkan tulang orang yang sudah meninggal setelah upacara Tiwah.

"Setiap Sandung harus ada Sapundu, karena Sapundu ini hilang, akhirnya Sandung seperti tidak berarti apa-apa," katanya.