Pejabat Negara Dalam Etika Berprofesi

id Hilyatul Asfia, Pejabat Negara Dalam Etika Berprofesi, Mahasiswi S1 Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Jurusan Ilmu Hukum

Pejabat Negara Dalam Etika Berprofesi

Hilyatul Asfia

Beberapa waktu lalu rakyat dihebohkan dengan peristiwa tidak bermoral dan beretika yang dilakukan oleh sebagian para pejabat negara. Salah satunya, dugaan kasus perzinahan yang melibatkan Bupati Katingan, kasus korupsi yang menjerat para pemimpin elite partai politik, dan aparat penegak hukum. Pejabat negara sejatinya adalah sosok percontohan bagi rakyatnya yang memiliki kekuasaan atas kepemimpinannya. 

Menurut John Sallisbury pemimpin, merupakan jantung masyarakat yang harus diisi oleh orang-orang pandai. Artinya, kekuasaan yang dipimpin oleh para pihak yang tidak memiliki kompetensi dan kredibilitas justru dapat membuka lebar penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power.

Kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat negara, akan tunduk dan patuh pada aturan hukum yang berlaku. Hukum seyogianya dapat mengakomodir kepentingan masyarakat dalam berbagai aspek. Namun, realitanya terdapat pelanggaran nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat masih dapat melanggengkan kekuasaan yang dimiliki oleh para pejabat tidak bermoral, karena tidak adanya aturan hukum yang mengatur secara spesifik. 

Hal inilah yang disebut "Het recht hink achter de feiten ann", bahwa hukum tertulis ketinggalan dalam peristiwanya. Padahal dalam proses penyelenggaraan bernegara, Konstitusi dengan tegas memberikan pembatasan-pembatasan yang tidak hanya dibatasi pada suatu aturan namun tunduk dan patuh pada nilai-nilai moralitas kehidupan (Pasal 28 J). 

Hal ini tak pelak menjadi suatu permasalahan yang perlu kita hindari bersama. Seyogianya, Kebebasan dalam berperilaku adalah hak yang diperbolehkan untuk melakukan apa saja selama diperbolehkan oleh aturan hukum yang berlaku. 

Artinya, seseorang tidak melanggar etik apabila hukum yang berlaku tidak mengatakan demikian. Namun, adanya aturan hukum yang tidak mengakomodir penerapan etika moral masyarakat jika tidak diperbaiki akan menimbulkan kerugian dikemudian hari.

Revitalisasi aturan hukum perlu dilakukan,dengan cara menempatkan rakyat dalam pembentukannya terhadap setiap bentuk formasi perintah kuasa, karna rakyatlah pembuat hukum yang sejati. Rakyat sebagai pemilik kekuasaan perlu dilibatkan secara terpadu, sebagai bentuk kekuataan Civil Sociey, mengaplikasikan pelibatan berbagi pihak dan berbagai disiplin ilmu. 

Hal tersebut merupakan unsur penting dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik, bersih dan efisien serta sekaligus bentuk pengembangan demokrasi serta mencegah penyalahgunaan wewenang oleh aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan. dengan pendekatan kolektivisme dan menentang individualisme.


Pembentukan Mahkamah Etik

Para pemimpin yang tidak memiliki integritas akan membuka lebarabuse of power sehingga perlu dibatasi dalam kekuasannya. Pembatasan tersebut dilakukan dengan membatasi kekuasaan terhadap kekausaan yang lain.oleh karena itu, dalam mencegah adanya tindak penyalahgunaan etika moral yang berdampak terhadap suatu kemunduran penyelenggaraan negara. Maka perlu dibentuknya, Mahkamah Etik selain daripada Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung.

Mahkamah Etik berperan dalam menciptakan pemimpin dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien. 

Penguasa yang berdaulat merupakan pemimpin dari negara. Oleh karena itu, masyarakat membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki integritas, kredibilitas serta kompetensi yang mampu mengakomodir kepentingannya, agar dalam segala bentuk formasi perintah kuasa dapat mengantarkan keadilan dan kesejahteraan kepada rakyatnya.




*Penulis : Mahasiswi S1 Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Jurusan Ilmu Hukum