Pentingnya Aturan Kegiatan Antariksa Bagi Indonesia

id Indonesia, pengaturan kegiatan keantariksaan, Kuasa Usaha Ad-Interim, KUAI KBRI/PTRI Wina, Febrian A. Ruddyard

Pentingnya Aturan Kegiatan Antariksa Bagi Indonesia

Roket Ariane 5 ECA VA235 yang membawa satelit Telkom 3S meluncur di fasilitas milik Arianespace, di Kourou, Guyana, Perancis, Selasa (14/2/2017). (ANTARA/Puspa Perwitasari)

London (Antara Kalteng) - Indonesia menekankan pentingnya pengaturan kegiatan keantariksaan secara adil dan berimbang untuk tujuan damai, yang dapat dicapai melalui pengembangan teknologi dan aplikasi keantariksaan yang diatur berdasarkan prinsip keadilan, saling menghormati kedaulatan dan integritas wilayah masing-masing negara.

Hal itu dikemukakan Kuasa Usaha Ad-Interim (KUAI) KBRI/PTRI Wina, Febrian A. Ruddyard, selaku Ketua Delegasi RI dalam pandangan umum Indonesia pada sidang ke-56 SubKomite Hukum pada Komite PBB bagi Penggunaan Antariksa untuk Tujuan Damai/Legal Sub Committee of the United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (LSC-UNCOPUOS) yang dilaksanakan di Wina, Austria, demikian Counsellor/Koordinator Fungsi Politik KBRI/PTRI Wina, M. Zaim A. Nasution kepada Antara London, Selasa.

Febrian A. Ruddyard menekankan Indonesia memandang penting perlunya pengaturan kegiatan keantariksaan, khususnya yang terkait dengan dua aspek utama yaitu isu definisi dan delimitasi antariksa serta pemanfaatan geostationary orbit (GSO) secara adil dan tetap mengutamakan prinsip penghormatan atas kedaulatan dan integritas negara. 

Dikatakan bahwa Indonesia berpandangan kesepakatan negara-negara mengenai definisi dan delimitasi antariksa merupakan salah satu agenda prioritas yang perlu didorong melalui forum UNCOPUOS, sehingga dasar hukum untuk pengaturan wilayah kedaulatan antariksa dapat ditetapkan dan permasalahan yang muncul akibat legal uncertainty dapat diselesaikan.

Terkait isu GSO, posisi strategis Indonesia sebagai negara kepulauan yang berlokasi di sekitar garis khatulistiwa menjadikan isu tersebut penting bagi Indonesia karena 13 persen dari total rentang orbit berada di atas wilayah Indonesia.

Oleh sebab itu, dalam sidang LSC-UNCOPUOS, Indonesia kembali menegaskan posisi bahwa GSO perlu diatur dalam suatu rejim hukum khusus yang substansinya tidak bertentangan dengan ketentuan Space Treaty of 1967, serta tetap memperhatikan kepentingan negara, khususnya negara berkembang dan negara dengan letak geografi khusus, seperti negara-negara di garis khatulistiwa.

Di Forum PBB, Indonesia bersama Kelompok G-77 dan RRT juga turut mendorong agar seluruh negara, khususnya yang memiliki kemajuan di bidang keantariksaan, bahu membahu dalam mencegah perlombaan senjata atau mendorong non-militerisasi di ruang angkasa, sehingga pemanfaatan ruang angkasa untuk tujuan damai dapat terjamin.

Pada tingkat nasional, Indonesia mengaksesi sejumlah instrument hukum tentang Keantariksaan antara lain the Space Treaty of 1967, the Rescue Agreement of 1968, the Liability Convention of 1972 dan the Registration Convention of 1976 serta memiliki UU Nomor 21 tahun 2013. Instrumen hukum tersebut telah menjadi dasar hukum bagi Pemri dalam mengembangkan kegiatan keantariksaan nasional.

Pertemuan yang berlangsung hingga 7 April mendatang dihadiri lebih dari 200 delegasi mewakili negara-negara pihak dan observer pada UNCOPUOS. Delegasi RI pada pertemuan tersebut dipimpin KUAI KBRI/PTRI Wina, Febrian A. Ruddyard, dan beranggotakan pejabat dari LAPAN, TNI Angkatan Udara, Universitas Atmajaya dan KBRI/PTRI Wina.