Opini - Memaknai Kartini Bukan Hanya Sekedar Menyoal Sanggul dan Berkebaya

id seruyan, kartini, hari kartini, IKPM seruyan di Yogyakarta

Opini - Memaknai Kartini Bukan Hanya Sekedar Menyoal Sanggul dan Berkebaya

A.R. Asrari Puadi SKM, Dewan Penasehat Organisasi IKPM Seruyan di Yogyakarta. (Dokumentasi)

Sebuah surat dikirimkan kepada Ny. Van Kool pada
Agustus 1901. Dalam suratnya Kartini menulis, "Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila
kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri,
berharaplah kami dengan harapan yang sangat, supaya disediakan pelajaran dan
pendidikan, karena inilah yang akan membawa bahagia baginya".
Begitulah bunyi dari sepenggalan
surat sang Kartini.



 



Hari ini, kita berjumpa lagi pada
peringatan sosok seorang perempuan bernama Kartini, seorang putri dari Raden Mas Sosroningrat Bupati Jepara yang lahir pada 21 April 1879 silam.
Dari sekolah, kampus, instansi negeri, swasta hingga pusat perbelanjaan menjadikan
Kartini sebagai satu dari sekian banyak peringatan nasional yang dikhususkan
dan digelar dengan beragam keriuhan. Namun keriuhan "selametan" atas hari Kartini tersebut
tak jarang hanya diisi oleh riuh-riuh "fesyen", dari sanggul hingga beraneka ragam kebaya. Tak
ayal banyak juga yang kemudian menyebut dan mengidentikan hari Kartini dengan
"Hari Berkebaya Nasional".



 



Entah
bagaimana ceritanya serta siapa
yang memulai, namun sanggul dan
kebaya inilah yang paling "kentara" dari hari Kartini. Pertanyaannya, apakah mengingat
dan memaknai Kartini akan
selalu kita maknai dengan hanya bersanggul dan berkebaya ?



Perempuan
dan Perdebatan



Berbicara
perempuan, selalu lekat dan awet dengan sebuah perdebatan atas bahasan patriarki, yaitu sebuah sistem
sosial yang menempatkan perempuan pada tingkatan kedua atau dengan kata lain
laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Dimana
menurut Sylvia Walby (1993) yang membagi patriarki menjadi dua, yaitu patriarki
privat dan patriarki publik menyebutkan bahwa telah terjadi ekspansi wujud
patriarki, dari ruang-ruang pribadi dan privat seperti keluarga dan agama ke
wilayah yang lebih luas yaitu negara. Anggapan patriarki inilah yang kemudian menjadi sumber atas pandangan
minor terhadap perempuan.



Kembali
jauh ke belakang, sejatinya narasi patriarki telah dimulai semenjak zaman Adam
dan Hawa, bagaimana Hawa dipandang kala itu menjadi sumber masalah atas
kekhilafannya menggodai sang Adam. Bergeser ke tanah Jawa, sebuah obrolan lazim mengungkapkan, "Nek wedok iku, yo umbah-umbah karo
korah-korah" (Kalau perempuan itu, ya nyuci pakaian dan piring).
Kalimat tersebut menjadi kalimat yang
sering terdengar oleh para perempuan, terlebih bagi perempuan yang berdarah Jawa. Perdebatan pun
kembali dimulai, apakah
harus menjadi perempuan yang di rumah saja atau memilih menjadi perempuan yang
berkarir (di luar rumah).



Tak
hanya sampai disitu, perempuan millenial kekinian pun nyatanya mengalami hangatnya perdebatan,
misal saja apakah memilih berpakaian seksi atau berjilbab syar'i, apakah
menikah cepat atau lajang lama, apakah begini atau begitu dan banyak lagi perdebatan
serta diskursus lainnya. Perempuan
sekali lagi menjadi objek sekaligus subjek menarik untuk diperdebatkan,
terlebih saat perempuan menjadi satu dari kesekian elemen demografi mayor yang
mempengaruhi tingkat elektabilitas dari
sebuah kontestasi
politik
elektoral.



Kartini
dan Dapur Literasi



Lahirnya
keterbukaan yang ditandai
dengan semakin mudahnya membagikan apapun di jejaring maya, menjadi catatan
penting sekaligus era baru dalam pencarian dan pembagian
informasi di segala lini. Era baru ini tak jarang juga memunculkan sifat-sifat
baru dalam lingkungan sosial masyarakat, misal kita makin berani dan senang
berkomentar walau kita belum terlalu mengerti duduk persoalannya, kita makin
cerewet dan senang menyinyiri apa
saja serta siapa saja yang menurut kita berseberangan dengan apa yang ada dalam
isi kepala kita.



Kementerian Kominfo dalam catatannya pada awal
2017 mengungkapkan ada 40.000-an lebih website yang mengaku sebagai media
online, namun tidak terdaftar sebagai media resmi. Hal ini dibarengi juga
dengan tingginya persebaran hoax serta menurunnya minat baca masyarakat.
Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), perkembangan teknologi digital
seperti media sosial menyebabkan minat baca masyarakat menjadi rendah. Hal ini
karena waktu masyarakat banyak tersita untuk media sosial dibandingkan membaca
buku.



Apa yang diungkakan IKAPI diamini oleh hasil penelitian dari
The World's Most Literate Nations (WMLN) pada
tahun 2016, yang meneliti tentang tingkat literasi dunia. Hasil penelitian WMLN menempatkan
Indonesia di urutan buncit, posisi ke-60 dari 61 negara yang disurvei.
Satu
tingkat lebih tinggi dibanding Botswana, negara kecil di benua Afrika yang berpenduduk hanya 2,1 juta jiwa.



Kembali pada Kartini, lahirnya kepahlawanan Kartini
tak dapat dipungkiri tercetus dari kedekatan sosok Kartini dengan budaya literasi. Kartini hidup dengan buku-buku, dan
kegiatan tulis menulis lewat surat-suratnya yang dapat kita nikmati hingga
kini. Kartini seolah bersepakat dengan apa yang dikatakan Pram â€œOrang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama tidak
menulis ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah.”
 Spirit literasi itulah yang
menjadi dapur intelektualitas dan energi perjuangan pergerakan seorang Kartini di masanya.



Kartini
yang hidup di zaman pra-literasi menjadi literater yang sangat membanggakan.
Kemampuannya memvisualkan wajah patriarki, dan isu-isu hak serta keadilan
perempuan menjadi kata dan energi yang
menggerakkan banyak perempuan Indonesia kala itu. Jika
hari ini Kartini masih hidup, mungkin hatinya akan tersayat ketika mimpi
literasi yang ia bangun nyatanya belum terlalu banyak dilakukan oleh banyak masyarakat
khususnya para perempuan
Indonesia. Apalagi bagi mereka
yang masih memilih sibuk shopping
sana-sini ketimbang membaca, menulis dan menelurkan gagasan untuk kemajuan kaum
perempuan.



Terakhir,
membaca dan menulis ibarat kendi, apa yang kita tuangkan itulah yang akan
terbagi. Memang tidak dipungkiri bahwa susah untuk membangun
masyarakat perempuan yang
meliterasi, apalagi ditengah fenomena perempuan
millenial yang kini seolah
terfokus pada topik-topik
galau dan kebimbangan, atau yang anak muda lazim menyebutnya sebagai
"Baper". Namun sekali
lagi, literasi adalah bagian
penting dari mendidik perempuan, yang seorang bijak menyebut mendidik
perempuan seperti mendidik dua generasi, karena perempuan akan melahirkan
generasi baru dari rahim agungnya, terlebih dengan tugasnya sebagai Al ummu
madrasatul ula
.



Semoga
semangat Kartini mengasah dapur
intelektualitasnya dengan literasi juga ikut diteladani oleh
perempuan-perempuan Indonesia hari ini, sehingga memaknai Kartini bukan lagi hanya
sekedar bersanggul dan berkebaya seperti layaknya yang sudah menjadi tradisi
hari ini.

*) Dewan Penasehat Organisasi IKPM Seruyan di Yogyakarta