Artikel - Menggagas Model Perkebunan Berkelanjutan di Kotawaringin Timur

id perkebunan berkelanjutan, sawit, kotawaringin timur

Artikel - Menggagas Model Perkebunan Berkelanjutan di Kotawaringin Timur

Bupati Kotawaringin Timur, Kalteng, H Supian Hadi (empat dari kiri) bersama pemangku kepentingan usai berdiskusi mengenai pengelolaan perkebunan berkelanjutan di daerah itu. (FOTO ANTARA/Humas Kemitraan)

Sampit (Antara Kalteng) - Pada April 2017 ini pemerintah Indonesia bereaksi keras menanggapi tuduhan Parlemen Eropa melalui "Report on Pal Oil and Deforestaion of Rainforest", yang disampaikan di Starssbourg, Brussels, Belgia, Selasa (4/4).

Mosi dari Parlemen Eropa itu mengaitkan komoditas kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan sejumlah isu, di antaranya korupsi, pekerja anak, pelanggaran hak asasi manusia, dan juga penghilangan hak-hak masyarakat adat.

"Tuduhan sawit adalah korupsi, eksploitasi pekerja anak, menghilangkan hak masyarakat adat merupakan tuduhan yang keji dan tidak relevan," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menanggapi resolusi itu, di Jakarta, Jumat (14/4).

Ia bahkan menyebut mosi dimaksud sebagai "penghinaan" terhadap pemerintah Indonesia yang tidak dapat diterima.

Alasannya, bagi Indonesia sawit diserupakan industri besar yang menyangkut hajat hidup petani, meliputi areal seluas 11 juta hektare dengan persentase 41 persen merupakan tanaman petani dengan tenaga kerja usaha hulu hingga hilir mencapai 16 juta orang.

Indonesia, ditegaskannya, tetap berkomitmen seperti Parlemen Eropa dan negara lain di dunia untuk mewujudkan dan memiliki ratifikasi Persetujuan Paris (Paris Agreement).

Persetujuan Paris -- yang dihasilkan melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Perubahan Iklim di Paris, Prancis, pada Desember 2015 dan diikuti 195 negara -- menekankan pada sejumlah kesepakatan.

Pertama, upaya mitigasi dengan cara mengurangi emisi dengan cepat untuk mencapai ambang batas kenaikan suhu bumi yang disepakati, yakni di bawah dua derajat Celsius dan diupayakan ditekan hingga 1,5 derajat Celsius.

Kedua, sistem perhitungan karbon dan pengurangan emisi secara transparan. Ketiga, upaya adaptasi dengan memperkuat kemampuan negara-negara untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Keempat, mengatasi kerugian dan kerusakan dengan memperkuat upaya pemulihan akibat perubahan iklim. Dan kelima, bantuan termasuk pendanaan bagi negara-negara untuk membangun "ekonomi hijau" dan berkelanjutan.

         
Dua dimensi dampak

Secara umum -- tidak terkecuali di Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah -- meski diakui bahwa sejak awal pembangunannya, kelapa sawit memang memunculkan masalah.

Ada dua dimensi dampak yang ditimbulkan, yakni positif dan sekaligus negatif.

Dari sisi positif, perkebunan kelapa sawit boleh disebut sebagai penyelamat perekonomian masyarakat, terlebih di tengah permasalahan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Hal ini diakui Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi.

"Kalau untuk pendapat asli daerah (PAD) langsung dari sawit memang sangat kurang karena peraturannya memang (pajak) langsung ke pusat. Keuntungan daerah adalah mengurangi kemiskinan, membuka lapangan kerja, sehingga perekonomian daerah terbantu," katanya saat berdiskusi dengan media di kantor bupati di Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur, Jumat (28/4).

Dampak ikutan lainnya, yakni dari usaha perkebunan itu masyarakat diajak bermitra dalam usaha jasa pengangkutan, muncul bengkel, warung-warung sehingga ada pekerjaan yang jelas.

"Tapi, dampak negatifnya juga ada, yakni kerusakan jalan sehingga 'nggak seimbang juga," katanya.

Produk sawit, selain dalam bentuk minyak kelapa sawit mentah (CPO) untuk minyak goreng, dari berbagai penelitian juga menyebutkan hampir setiap bagian dari tanaman kelapa sawit dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam kebutuhan, apakah untuk industri makanan, pupuk organik, pakan ternak dan lainnya.

Karena itulah, kelapa sawit menjadi salah satu solusi terbaik untuk masalah-masalah sosial-ekonomi masyarakat.

Namun, pada saat yang sama, dampak negatifnya pun tidak dapat dinafikan.

Tidak sedikit laporan media massa menyebutkan bahwa akibat pembukaan hutan secara besar-besaran dampak yang timbul adalah terkait dengan keseimbangan lingkungan.

Terancam punahnya satwa dan juga hilangnya kearifan lokal warga sekitar menjadi contohnya.

Atas kondisi itu, Kemitraan (Partnership) -- sebuah lembaga nirlaba yang dibentuk tahun 2000 oleh Bappenas bersama masyarakat sipil dan lembaga donor -- menggagas kerja sama multipihak pembangunan perkebunan berkelanjutan di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng.

Program pengelolaan usaha perkebunan berkelanjutan, di Kabupaten Kotawaringin Timur itu dikuatkan melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) Nomor: 119/149/Adpum/2016,002/MoU/Agust/2016.) dan Surat Perjanjian Kerja Sama (SPK Nomor:119/150/Adpum/2016, 003/SPK/Agust/2016) antara Kemitraan dengan Pemkab Kabupaten Kotawaringin Timur, pada tanggal 17 Agustus 2016.

MoU berfokus pada tiga hal, yakni pola kemitraan perkebunan, penanganan konflik tenurial, dan konservasi pada areal perkebunan dengan konsep nilai konservasi tinggi (high conservation values/HCV).