'Miwit Alah Janah' Ritual Adat Dayak Ma'anyan

id miwit alah janah, dayak maanyan, paju sepuluh, Koppad Borneo

'Miwit Alah Janah' Ritual Adat Dayak Ma'anyan

Pemilik hajat, Ketua Kopppad Borneo Bartim, Toni Mudik (pakai topi merah) bersama balian (lawung hitam) melaksanakan ritual Miwit Alah Janah di Desa Pulau Patai Kecamatan Dusun Timur, Selasa. (Foto Antara Kalteng/Habibullah)

Tamiang Layang (Antara Kalteng) - "Miwit Alah Janah", salah satu ritual adat suku Dayak Ma'anyan subsuku Paju Sapuluh, kini diaktifkan kembali Komando Pengawal Pusaka Adat Dayak Borneo (Koppad Borneo) Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. 

"Miwit Alah Janah maksudnya adalah ritual memberi sajian atau makanan untuk leluhur kampung," ungkap Kepala Koppad Borneo Kabupaten Bartim, Toni Mudik di Desa Pulau Patai, Selasa. 

Awalnya, kegiatan ini merupakan kegiatan tahunan yang dilaksanakan secara turun temurun. Di era zaman serba modernisasi berdampak langsung kepada para generasi Dayak Ma'anyan yang mulai melupakan adat budaya tersebut. 

Miwit Alah Janah dilaksanakan setelah musim panen padi biasanya pada medio bulan April-Mei. Pada umumnnya dilaksanakan karena niatan atau hajat terlaksana. 

"Seperti hidup sudah sukses atau berhasil, hasil panen melimpah atau ada niat khusus tersendiri," kata lelaki yang menjadi pensiunan guru itu. 

Toni menjelaskan, awal mula kegiatan ini dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan pihak keluarga dan Balian dengan menyampaikan bahwa ingin melaksanakan Miwit Alah Janah karena hajat sudah tercapai. 

Kemudian disepakati hari pelaksanaannya dan dibuat aneka makanan sajian seperti kingkin atau ketan, kelapa, nasi, telor, dan dilengkapi dengan beras, buah kelapa serta tuak.

Sembari membuat aneka makanan, di halaman rumah disediakan arena permainan sejenis domino dan sabung ayam yang diikuti warga setempat. 

Makanan yang sudah siap kemudian disajikan dalam sebuah tempat yang disebut Ansak. Jika sudah selesai akan dibawa ke lokasi persembahan tempat leluhur dengan digotong 4-6 orang secara bergantian.  

"Sampai di lokasi, sajian diletakkan di posisi yang sudah ditentukan dan dibacakan mantra dari Balian (pemimpin ritual) dan di sebelah lokasi tersebut diadakan sabung ayam," ungkap Toni. 
 
Ayam yang telah selesai disabung itu pun disembelih dan darahnya dimasukkan dalam Sangkuwai yakni bambu yang dibuat untuk menampung darah ayam sebagai salah satu syarat untuk sesajian. 

Sedangkan ayamnya dipanggang diatas api dan jika sudah masak akan ditaruh bersama makanan lain di ansak. 

Balian pun memanggil roh leluhur dengan menyebutkan aneka jenis sajian makanan yang telah disediakan.

"Apa yang kita sediakan, maka makanan itu yang disebutkan balian. Tidak boleh berbohong," kata Toni. 

Di Desa Pulau Patai yang terletak sekitar 10 kilometer dari ibukota Tamiang Layang memiliki dua leluhur yakni laki-laki dan wanita yang namanya hanya boleh disebut oleh Balian saja.