Artikel - Jejak Dokter-Priyayi Menuju Kebangkitan Nasional

id dokter priyayi, dr wahidin sudirohusodo, kebangkitan nasional

Artikel - Jejak Dokter-Priyayi Menuju Kebangkitan Nasional

Ilustrasi, (Istimewa)

Seorang dokter tak bisa hanya menyembuhkan luka pada badan seorang pasien, tapi juga harus menyembuhkan luka sebuah bangsa yang sedang sakit
Jakarta (Antara Kalteng) - Seorang pensiunan dokter yang separuh hidupnya dihabiskan untuk bekerja, Dr Wahidin Soedirohoesodo, tak bisa berdiam diri manakala mendapati semakin menderitanya kehidupan rakyat di sekelilingnya.

Ia merasa pekerjaannya sebagai dokter tak begitu berguna ketika rakyat di sekitarnya terus saja hidup dalam penderitaan yang tak terperi.

"Bangsa ini tetap tidur dalam impian kacau tapi indah. Seorang dokter tak bisa hanya menyembuhkan luka pada badan seorang pasien, tapi juga harus menyembuhkan luka sebuah bangsa yang sedang sakit," katanya dalam sebuah tulisan yang terabadikan hingga kini.

Dokter lulusan sekolah kedokteran Belanda Stovia itu pun menggunakan seluruh tabungannya selama 30 tahun bekerja untuk melakukan perjalanan berkeliling Jawa menyambangi para priyayi pribumi mulai dari pangeran, bupati, hingga pemangku residen pada awal 1900-an.

Wahidin yang lahir dari keluarga priyayi rendahan asal Mlati, Sleman, Yogyakarta itu mengajak mereka untuk berserikat memperjuangkan para pemuda desa yang tak bisa lagi bersekolah sekaligus menawarkan konsep dana pelajar.

Sayang perjalanan panjang Wahidin tak membuahkan hasil apapun sebab kebanyakan priyayi Jawa ketika itu sudah menikmati kemapanan hidup sehingga banyak di antaranya menjadi rakus, gila hormat, dan korup.

Setelah tahun-tahun yang menjemukan pada akhir 1906 di saat yang sama ia mulai kehabisan uang untuk melakukan perjalanan, ia tak sengaja bertemu dengan anak-anak muda yang sebagian di antaranya adalah lulusan dokter Jawa Stovia tempatnya menuntut ilmu.

Wahidin mendapatkan kesempatan untuk berorasi dalam forum "Demonstrasi Demokrasi" yang ia manfaatkan sebesar-besarnya untuk menggugah semangat berorganisasi dokter-dokter muda yang baru saja rampung menuntut ilmu.

Kali ini usahanya tak sia-sia, beberapa pemuda menyatakan siap berdiri bersamanya untuk berserikat dan memberikan sumbangsih kepada bangsa yang rakyatnya sedang menderita.

Mereka yang menyatakan mendukung di antaranya Soetomo dan dua bersaudara Goenawan Mangoenkoesoemo dan Tjipto Mangoenkoesoemo.

"Suaranya yang jelas dan tenang membuka hati dan pikiran saya. Ia membawa gagasan-gagasan baru dan membuka dunia baru yang meliput saya yang terluka dan sakit," tulis Soetomo dalam bukunya, Kenang-Kenangan (1943), yang mengisahkan pertemuan itu.

Soetomo, yang ketika itu berumur 19 tahun, lansung tergerak untuk melakukan sesuatu.

    
          Impian Sang Dokter
Hanya beberapa bulan setelah pertemuan itu, tepatnya 20 Mei 1908, Soetomo yang sedang terbakar semangatnya menghubungi Wahidin sebagai penggagas sekaligus mengajak kawan-kawannya untuk mendirikan organisasi bernama "Boedi Oetomo".

Dan rupanya, ceramah dokter Wahidin tak hanya menggerakkan Soetomo.

Seorang pelajar Stovia yang tak lulus, Tirto Adhisoerjo (TAS), juga terbakar oleh ceramah Wahidin. Bahkan Tirto bergerak lebih duluan dibanding Soetomo. Pada tahun 1906, ia mendirikan organisasi bernama "Sarekat Priyayi".

Setelah itu bermunculanlah organisasi-organisasi kebangsaan bak jamur di awal musim hujan.

Banyak yang bahkan mengklaim lebih dulu dibentuk jauh sebelum Boedi Oetomo berdiri.

Namun di luar itu, Wahidin, dokter yang mencintai bangsanya itu, memang sejak awal telah memilih berjuang untuk membangun sebuah organisasi modern. Dan mimpinya separuh terwujud ketika pribumi mulai mendirikan organisasi.

Jejak-jejak seorang priyayi rendahan itu memang terabadikan hingga kini saat di sepertiga bulan Mei terakhir setiap bulannya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Pemikiran Wahidin menjadi semakin relevan ketika 110 tahun kemudian bangsa ini menghadapi ancaman intoleransi dan disintegrasi yang semakin serius.

Pemerintahan Jokowi-JK bahkan bisa dikatakan mendapatkan ujian terberat dalam hal intoleransi ketika isu SARA menjadi gesekan yang paling keras.

Presiden Joko Widodo bahkan sudah meminta semua pihak untuk menghentikan gesekan yang membuat dinamika kehidupan berbangsa dalam beberapa waktu terakhir semakin memanas.

"Jikalau pun dalam beberapa waktu terakhir ada gesekan antar kelompok di masyarakat, mulai saat ini saya minta hal-hal tersebut, gesekan tersebut untuk segera dihentikan," kata Presiden.

    
         Bangsa Bangkit
Jejak priyayi di sisi mereka para ulama memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah kebangkitan bangsa.

Relevansi kebangkitan bangsa pada saat ini lebih tepat jika dikaitkan dengan kemampuan seluruh eleman bangsa di Tanah Air mampu menekan egonya menuju pada tetap kokohnya NKRI.

Hal itu pulalah yang mendorong salah satu ormas Islam Generasi Muda Mathla'ul Anwar, misalnya, untuk mengajak semua pihak memprosisikan diri pada tempat yang menyejukkan dan meneduhkan umat bila terjadi konflik bernuansa identitas agar tidak meluas.

Ketua Umum DPP Gema Mathla'ul Anwar Ahmad Nawawi mengatakan kebangkitan bangsa berarti ketika seluruh eleman bangsa melakukan reposisi dengan tetap berkomitmen menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang berbentuk NKRI.

"Kebangkitan bangsa harus dimulai dengan kita semua aktif dalam proses demokrasi berjalan secara konstitusional," katanya.

Sa'ad Muafi Ketua GP Ansor Bangil menyampaikan pentingnya secara rutin digelar dialog kebangsaan sebagaimana yang dilakukan Dr Wahidin pada masa awal perjuangannya.

"Yang harus digaris bawahi sebaiknya kita tidak menggunakan kata ukhuwah Islamiyah di Indonesia karena di Indonesia tidak hanya islam. Yang terpenting dalam perbedaan tetap terjalin terbangun ukhuwah dalam bingkai NKRI," katanya.

Muafi juga menjelaskan dalam memperjuangkan bangsa ini tidak hanya umat Islam yang berperan tapi seluruh elemen bangsa Indonesia, yang sering menjadi perbedaan adalah perbedaan dalam keyakinan.

Sebagaimana perjuangan priyayi yang tak ada artinya tanpa peran ulama, tanpa peran rakyat, tanpa peran semua pihak. Membuktikan bahwa kebangkitan bangsa adalah tanggung jawab bersama.