Artikel - Berawal dari Integrasi Sawit-Sapi Muncul Agrowisata di Kobar

id integrasi sawit dan sapi, agrowisata di kobar, sapi potong

Artikel - Berawal dari Integrasi Sawit-Sapi Muncul Agrowisata di Kobar

Agrowisata di Desa Pangkalan Tiga, Kotawaringin Barat yang dikembangkan dari usaha awal integrasi sawit-sapi. Sutiyana 'menyulap' rawa-rawa menjadi kolam ikan, kebin sayuran dan lokasi olam renang. (Foto Budi Santoso)

Jakarta (Antara Kalteng) - Usaha peternakan selalu memiliki potensi sinergitas dengan usaha lain yang membuat sistem produksi secara keseluruhan bisa menjadi lebih efisien.

Salah satunya adalah ternak sapi. Hewan ruminansia ini mempunyai kemampuan mengubah serat kasar dan bahan limbah menjadi sumber energi dalam tubuhnya menjadi daging. Tentu dengan bantuan mikroba dalam perutnya.

Pada alam terbuka sapi mengkonsumsi rumput dan daun, namun saat ini banyak sektor perkebunan yang menghasilkan limbah hijauan seperti pelepah sawit. Belum lagi lahan di sekitar tanaman sawit yang terbukti bisa menjadi lahan penggembalaan.

Demikian juga ada limbah industri sawit yang masih mempunyai kandungan nutrisi unggulan dan bisa dimanfaatkan sebagai pakan sapi.   
   
Inilah akhirnya menjadi dasar pola integrasi perkebunan sawit dan peternakan sapi. Pola sawit-sapi ini potensial dikembangkan mengingat luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 15 juta hektare dimana 60 persen perusahaan perkebunan swasta dan sisanya oleh petani mandiri.

Efisiensi yang terjadi akibat sinergitas pengembangan komoditi dalam model integrasi sawit sapi diharapkan menjadi solusi atas biaya produksi bakalan, sehingga dapat bersaing dengan efisiensi usaha di luar negeri (Australia).

Integrasi sawit-sapi inilah merupakan jawaban atas keinginan berswasembada daging, apalagi Pemerintah sudah mengeluarkan Permentan Nomor: 105/Permentan/PD.300/B/2014 tentang Integrasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dengan Usaha budidaya Sapi Potong.

Potret keberhasilan yang dilakukan dua korporate besar yaitu PT Sulug Ranch, dari group  Citra Borneo Indah (CBI)  dan Agro Menara Rachmat dari Group Astra Agro Lestaridi Kabupaten Kotawaringin Barat bisa menjadi contoh korporat lain.

Keduanya membuktikan  kehadiran ternak di perkebunan sawit ternyata mampu menurunkan biaya penyiangan kebun dan hasil kotorannya mampu meningkat kesuburan lahan.

Bagaimana dengan pengembangan usaha integrasi skala rakyat ?
   
Ternyata, inovasi yang mengiringi usaha integrasi sawit-sapi skala kecil justru lebih banyak, dan membuat semua yakin bahwa integrasi mampu mengawal pertumbuhan ekonomi daerah.

Kabid SDM dan Pascapanen Dinas Peternakan Kabupaten Kotawaringin Barat M Rubiansyah mengungkapkan, sejumlah kelompok mampu mengembangkan usaha integrasi itu dengan inovasi yang luar biasa dan bisa menjadi model integrasi untuk kelompok lainnya.

Dua kelompok yang pantas dicontoh yaitu Kelompok Peternak Subur Makmur (SM)   di Desa Pangkalan Tiga, Kecamatan Pangkalan Lada dan Kelompok Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Karya Baru Mandiri (KBM) di Desa Kubu, Kecamatan Kumai.

Kedua kelompok tadi bahkan sudah mengarah pada usaha agrowisata karena hasil kompos mereka mampu mengubah tanah marjinal menjadi lahan pertanian yang subur.

    Jatuh Bangun
Semula, peternak yang tergabung di Kelompok SM  yang diketuai Sutiyana, sempat jatuh bangun karena biaya pakan hijauan untuk memelihara indukan telah menguras tabungan. Mereka belum berfikir memanfaatkan hijauan lain untuk pakan dan kotoran sapi menjadi kompos.

Setelah ikut pelatihan membuat kompos di Jateng, barulah wawasan saya terbuka termasuk memanfaatkan limbah pelepah sawit dan limbah pabrik sawit," kata Sutiyana.

Ia menjelaskan, saat ini sapi memanfaatkan pelepah daun sawit dan serbuk gergaji sebagai sumber serat kasar. Kemudian campuran serat kasar itu ditambah limbah pabrik sawit lain yaitu bungkil sawit dan solit. Campuran tambahan lain sebesar 8 persen yaitu mineral, molases dan probiotik.

"Pakan ini 80 persen dari limbah sawit, ini yang membuat biaya pakan begitu murah," katanya.

Demikian juga kompos yang mereka buat dengan memanfaatkan solit, abu bolier, jengkon kosong, ditambah kotoran sapi dan probiotik mampu menyuburkan lahan perkebunan sawit.

Sutiyana mengungkap, saat ini kelompok ternak yang mempunyai 70 ekor sapi itu sudah mampu menghasilkan 80 ton kompos yang semua dibeli Koperasi Tani Makmur yang juga membawahi kelompok ternak itu dengan harga Rp1.100 per kilogram. Kemudian koperasi itu menyalurkan ke petani sawit dengan harga Rp1.200 per kilogram. Kebun sawit di sana masih butuh ribuan ton kompos lagi yang bisa mengurangi penggunaan pupuk kimia.

Setelah menemukan kunci usaha itu, Sutiana yang juga Ketua Koperasi Tani Makmur memanfaatkan dana replanting milik 435 petani sawit  untuk mengembangkan pola integrasi di tempat lain.

"Jika dana itu disimpan di bank, hanya dapat bunga saja. Dengan peternakan sapi dana justru berlipat, tenaga kerja terserap dan asset tetap ada," katanya.

Dana replanting,  pinjaman dari Kredit Ketahanan Pangan dan Energi sebesar Rp1,6 miliar, digunakan untuk membeli lahan peternakan, sapi dan peralatan lain. Setelah tiga tahun asset peternakan itu berkembang menjadi Rp4 miliar.

Saat ini koperasi itu juga mengembangkan agrowisata di lahan seluas 15 hektare di Desa Pangkalan Tiga. Lahan yang semula rawa-rawa disulap menjadi embung, kolam ikan, pembenihan lele, area hidroponik untuk sayuran.  Bahkan sampai akhir tahun 2017 akan terbangun kolam renang waterboom, restoran.  
      
Sekitar belasan kolam ikan sudah terbangun yang diisi nila dan lele. Ikan nila akan dengan sendirinya berbiak di kolam, sementara benih lele dipasok dari unit pembibitan yang sudah menyediakan 30 indukan lele.

Integrasi akhirnya juga menjangkau sektor perikanan dan pertanian karena pakan pellet ikan juga menggunakan limbah sawit, sementara lahan pertanian untuk sayuran menggunakan kompos dari kotoran sapi dan limbah sawit.

    
            Agrowisata Pertanian 
Pola perkembangan serupa juga terjadi di P4S Karya Baru Mandiri, Desa Kubu, Kecamatan Kumai dimana hasil integrasi sapi-sawit berupa kompos dan pupuk organik cair mampu  mengubah kondisi lahan yang berpasir menjadi lahan yang subur untuk berbagai sayuran dan buah-buahan.

Kelompok itu juga menggunakan pakan sapi dari pelepah sawit yang dihancurkan, kemudian dicampur bungkil biji sawit, molasis atau tetes tebu dan ditambah probitik. Campuran pakan itu jika masuk drum plastik mampu bertahan selama satu tahun lebih.

Di tangan Syahrian (39) lahan seluas tiga hektare yang semula menganggur   disulap berbagai kebun sayuran dan sudah beberapa kali panen dengan hasil memuaskan mulai buah naga, semangka, melon, labu, kubis, bawang merah, jahe, dan tanaman bunga-bungan. Untuk memberantas hama, Syahrian juga mengembangkan pestisida nabati dari daun sirsak.

Berbeda dengan kelompok lain, Syahrian memanfaatkan juga kiapak yaitu endapan organik di tepi pantai dan azola, sejenis gula di perairan pantai. Dua bahan itu ditambah kotoran sapi dan jangkos atau sisa perasan tandan buah sawit  diproses menjadi kompos selama 21 hari. Dengan bantuan probitik, kompos itu mempunyai daya kuat memperbaiki lahan yang marjinal.

Produksi kompos kelompok yang mempunyai 25 ekor sapi itu sudah mencapai 25 ton per bulan dimana sebagian dijual ke petani lain, sisanya digunakan anggota kelompok ternak untuk memperbaiki lahan.

Hebatnya komposisi kompos dan pupuk cair membuat tanaman cabe jenis baskara  yang ditanam, mampu tetap panen walaupun  tanaman lain sudah dua bulan lalu tidak lagi bisa dipanen. Tanaman bawang merah juga mampu tumbuh baik di tanah berpasir yang dicampur kompos dengan dosis dua ton per hektare.

Di areal itu juga sudah ada tempat pelatihan dan asrama yang digunakan sejumlah siswa dan mahasiswa untuk belajar berbagai hal mulai mengolah kotoran sapi dan urine menjadi kompos dan pupuk organik cair, dan menanam berbagai sayuran.

"Paling tidak ada lima sampai tujuh gelombang pelatihan setiap tahun, belum dihitung ada kelompok lain yang studi banding," kata Sayhrian yang juga penerima penghargaan Satya Lencana Wira Karya tahun 2017.

Ia terus memperluas kawasan pertanian sehingga 15 hektare lahan yang ada bisa menjadi tempat agrowisata dan tempat belajar bagi siapapun yang ingin belajar pertanian organik.

"Nanti ada kebun bunga, kebun sayuran, kebun buah-buahan, semua bisa menjadi latarbelakang yang indah untuk berselfie," katanya.

Dampak integrasi sawit-sapi adalah semakin banyak lahan-lahan marjinal yang akhirnya bisa dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan menjadi area agrowisata yang menjanjikan.