Artikel - Merawat Kemajemukan dengan Falsafah "Huma Betang"

id huma betang, toleransi, suku dayak

Artikel - Merawat Kemajemukan dengan Falsafah "Huma Betang"

Empat tempat ibadah agama berbeda dibangun berdampingan di Kecamatan Antang Kalang Kabupaten Kotawaringin Timur, menggambarkan tingginya toleransi dan kerukunan umat beragama. (Foto Antara Kalteng/Norjani)

Falsafah huma betang yang sudah ada sejak zaman leluhur Suku Dayak, tidak lekang oleh kekinian dan masih tepat untuk diterapkan hingga saat ini
Sampit (Antara Kalteng) - Ditakdirkan hidup berdampingan dengan masyarakat yang majemuk, sudah disadari sejak dulu oleh para leluhur Suku Dayak Kalimantan Tengah, termasuk di Kabupaten Kotawaringin Timur. Karena itu yang dilakukan bukanlah mempertajam perbedaan, melainkan berbesar hati menerima kehadiran warga lain tanpa mempermasalahkan perbedaan suku, agama, ras maupun antargolongan.

Sikap terbuka itu tergambar dari kehidupan masyarakat Dayak di huma betang atau rumah betang. Rumah khas Suku Dayak ini berbentuk rumah panggung persegi empat panjang terbuat dari kayu ulin dengan ukuran sangat besar dan terdiri banyak kamar. Di rumah betang itu, masyarakat Suku Dayak dan warga pendatang hidup bersama dengan rukun, damai dan penuh kekeluargaan meski berbeda suku, agama maupun ras.

Meski kemajuan zaman membuat rumah betang tergantikan dengan rumah-rumah individu keluarga, namun semangat falsafah "Huma Betang" tetap dijalankan generasi penerus. Masyarakat membuka diri terhadap pendatang dari manapun yang ingin hidup rukun, damai, saling menghargai dan menjunjung tinggi adat istiadat yang dijalankan masyarakat lokal.

"Sejak dulu, masyarakat kita sudah terbiasa dengan perbedaan, dan itu tidak ada masalah. Sampai sekarang, tidak sedikit anggota keluarga dalam satu rumah itu ada yang agamanya Kristen, Islam, Kaharingan atau lainnya. Masyarakat kita tidak mempermasalahkan perbedaan itu karena kita saling menghargai. Makanya kita jangan mau diadu domba, apalagi dengan membawa-bawa isu SARA (suku, agama, ras dan antargolongan)," kata Bupati Kotawaringin Timur, H Supian Hadi di Sampit, Sabtu.

Pecahnya konflik etnis yang menimbulkan banyak korban pada 2001 silam, menjadi pelajaran berharga tentang betapa pentingnya menghargai kearifan lokal. Falsafah "Huma Betang" yang sudah ada sejak zaman leluhur Suku Dayak, tidak lekang oleh kekinian dan masih tepat untuk diterapkan hingga saat ini.

Berbagai cara dilakukan pemerintah daerah bersama pihak terkait untuk mengingatkan kembali masyarakat tentang falsafah "Huma Betang". Perbedaan bukanlah hal yang perlu dipertentangkan, apalagi sampai menjadi pemicu konflik karena sejak dulu para leluhur sudah menjunjung tinggi sikap toleransi dan mampu menciptakan kerukunan di tengah kemajemukan masyarakatnya.

Hal itulah yang menjadi salah satu inspirasi Bupati H Supian Hadi sehingga memutuskan membangun tempat ibadah agama berbeda di satu lokasi yang sama. Seperti di Kecamatan Antang Kalang, empat tempat ibadah dibangun berdampingan di satu lokasi, yakni Balai Basarah untuk umat Hindu Kaharingan, Gereja Keluarga Kudus untuk umat Katolik, Gereja Eka Shinta untuk umat Kristen Protestan dan Masjid Al Hadi untuk umat Islam. Pembangunan empat tempat ibadah tanpa pagar pemisah itu untuk terus memupuk toleransi di masyarakat, seperti nilai dalam falsafah "Huma Betang".

Bicara tentang "Huma Betang", di Kecamatan Antang Kalang masih terdapat rumah betang Tumbang Gagu atau betang Antang Kalang. Menurut sejarah, betang Tumbang Gagu dibangun selama tujuh tahun sejak 1870 dan dulunya dihuni enam kepala keluarga. Hingga kini, betang yang memiliki panjang 58,7 meter, lebar 26,40 meter dan tinggi 15,68 meter itu masih dilestarikan.

Sentralisasi pembangunan tempat ibadah, rencananya juga dilakukan di kecamatan lainnya secara bertahap. Pemerintah daerah ingin Kabupaten Kotawaringin Timur menjadi miniatur tingginya toleransi dan kerukunan hidup beragama di Indonesia.

Manfaatnya sangat besar karena dengan kerukunan dan keharmonisan itu, masyarakat secara bersama-sama mampu menangkal isu-isu provokatif dan paham-paham radikal yang dapat mengancam kerukunan di masyarakat. Ini sejalan pula dengan motto Kabupaten Kotawaringin yakni "habaring hurung" yang berarti gotong-royong.

Toleransi tinggi yang ditunjukkan masyarakat Kotawaringin Timur, datang dari hati. Bukan hal aneh ketika banyak umat nonmuslim ikut sibuk membantu persiapan ketika ada Musabah Tilawatil Qur'an (MTQ). Bahkan saat pembukaan MTQ ke-47 tingkat kabupaten di Kecamatan Telaga Antang pada 16 April 2016 lalu, parade kafilah juga dimeriahkan oleh keikutsertaan jemaat Gereja Kalimantan Evangelis Tumbang Sangai dan umat Hindu Kaharingan di kecamatan paling ujung itu.

Falsafah "Huma Betang" yang sejalan dengan Bhinneka Tunggal Ika, selalu menjadi pengingat, pemersatu dan kekuatan dalam menyelesaikan permasalahan di masyarakat. Ketika muncul gesekan, semisal disebabkan oleh tindak kriminal yang dilakukan oleh dua suku berbeda, seluruh tokoh adat dan tokoh masyarakat dengan cepat menyikapi bersama agar kejadian itu tidak menimbulkan ketegangan akibat ada yang mengaitkan dengan isu SARA.

"Falsafah "Huma Betang" dan Bhinneka Tunggal Ika harus terus kita sampaikan kepada masyarakat, khususnya kepada generasi muda. Jangan sampai mereka terhasut isu SARA akibat informasi yang mereka dapat itu salah. Jangan sampai ada lagi konflik karena akan merugikan kita semua. Perekonomian lumpuh, pembangunan terhenti dan pada akhirnya seluruh masyarakat yang dirugikan. Mari kita jaga kerukunan dan hidup damai tanpa mempermasalahkan perbedaan. Yang penting saling menghargai, saling toleransi dan tetap junjung tinggi adat istiadat dan kearifan lokal," kata Untung, salah satu tokoh masyarakat Dayak yang merupakan pengurus Dewan Adat Dayak Kotawaringin Timur.

Upaya memelihara toleransi yang tinggi juga terus dilakukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kotawaringin Timur. Organisasi wadah berhimpun tokoh dari seluruh agama itu rutin menggelar pertemuan untuk bersilaturahmi, berbagi informasi, membahas perkembangan terkini kehidupan beragama, serta menyikapi jika ada fenomena yang dikhawatirkan akan mengganggu kerukunan umat beragama.

"Walaupun tidak ada masalah, kami selalu melakukan pertemuan rutin. Kehidupan umat beragama di Kotawaringin Timur sangat rukun dan harmonis. Kami terus menyerukan kepada umat agama masing-masing untuk selalu menjaga toleransi dan kerukunan. Kondisi Kotawaringin Timur sangat kondusif. Masyarakat jangan mau dihasut oleh pihak manapun. Agama mengajarkan perdamaian," kata Ketua FKUB Kotawaringin Timur, KH Abdul Hadi Riduan.

Saat perayaan hari besar seperti Idul Fitri dan Idul Adha, Natal, usai Nyepi, Imlek dan kegiatan lainnya, masyarakat saling berkunjung untuk bersilaturahmi tanpa memandang perbedaan suku, agama dan lainnya. Tradisi safari pun tetap dilakukan pejabat pemerintah daerah dengan mengunjungi mereka yang menggelar syukuran perayaan hari keagamaan. Ada kebanggaan tersendiri disertai tumbuhnya rasa kekeluargaan ketika mengunjungi saudara agama lain yang sedang merayakan hari raya keagamaannya.

Kebersamaan, kerukunan dan keharmonisan ini menjadi modal besar masyarakat Kotawaringin Timur sehingga bisa menjaga daerah tetap kondusif. Kebersamaan yang bertumpu pada falsafah "Huma Betang" dan Bhinneka Tunggal Ika ini pula yang menjadi kekuatan menangkal masuknya paham radikal dan berbagai bentuk provokasi dari luar.