Pemda Agar Hati-hati Genjot Penerimaan PAD, Ini Penjelasannya

id PAD, pendapatan asli daerah, CITA

Pemda Agar Hati-hati Genjot Penerimaan PAD, Ini Penjelasannya

Ilustrasi (Istimewa)

Jakarta (Antara Kalteng) - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai pemerintah daerah (Pemda) harus berhati-hati dalam menggenjot penerimaan melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) agar tidak berdampak negatif bagi perekonomian daerahnya.

"Harus dilakukan secara hati-hati terutama dampaknya terhadap 'tax certainty' dan tidak menyimpang dari asas dan praktik pemungutan pajak yang baik," ujar Yustinus saat diskusi publik "Dampak Regulasi Pajak Daerah dan Penyelesaian Sengketa Pajak terhadap Stabilitas Bisnis dan Investasi" di Jakarta, Rabu.

Dalam APBD 2017, kontribusi Dana Perimbangan masih sangat mendominasi Pendapatan Daerah yaitu sebesar 66,1 persen. Artinya, Pendapatan Daerah sangat bergantung terhadap kinerja penerimaan di pusat.

Per-September 2017, realisasi penerimaan pajak masih kisaran Rp770 triliun atau sekitar 60 dari target pemerintah. Di sisi lain, Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya berkontribusi sebesar 24,2 persen terhadap Pendapatan Daerah.

Dengan kondisi demikian, kata dia, sangat rasional jika pemda menggenjot penerimaan melalui PAD.

Secara historis, upaya pemda dalam meningkatkan PAD berdampak pada 'tax certainty' atau kepastian pajak. Salah satu sumber dari ketidakpastian ini adalah terbitnya banyak perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maupun tanpa dasar hukum.

"Sebagai dampaknya, beban pajak baru tersebut akan memukul dunia usaha karena tidak masuk perhitungan awal dalam keputusan investasi. Salah satu sektor yang terdampak signifikan adalah sektor pertambangan yang bersifat padal modal dan jangka panjang," kata Yustinus.

Hal itulah, lanjut Yustinus, yang menjadi latar belakang Pemerinlah bersama DPR merevisi UU PDRD pada 2009. Salah satu jenis pajak yang kerap menjadi pokok sengketa sekaligus menciptakan momok bagi para pelaku usaha adalah Pajak Air Permukaan (PAP) yang diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d UU PDRD Tahun 2009. PAP merupakan pajak atas pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan yang dipungut oleh Pemerintah Daerah Provinsi.

Beberapa kasus antara lain dugaan fraud dalam menetapkan PAP di Sumatera Ulara serta kerancuan pengenaan PAP dengan pembayaran konsesi kepada BP Batam yang di dalamnya memuat porsi pembayaran yang disetorkan ke Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. Kerancuan dan praktik 'double charging' atas objek pajak yang sama membuat aturan pajak yang lidak selaras dengan paket regulasi setempat yang telah ada (existing)
   
"Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi tax certainty adalah inkonsistensi perlakuan otoritas terhadap ketentuan nailed-down dan prevailing yang berlaku bagi suatu perusahaan," ujar Yustinus.

Nailed-down adalah sistem pemungutan pajak berdasarkan peraturan yang berlaku pada saat ditandatanganinya kontrak atau saat perizinan diberikan (statis, misalnya berlaku di Kontrak Karya dan PKP2B Generasi I dan II). Tarif PPh Badan yang berlaku adalah statis sebesar 35 persen. Sedangkan prevailing adalah pemungutan pajak berdasarkan peraturan yang berlaku dari waktu ke waktu (dinamis, misalnya berlaku sesuai UU No. 4/2009).

Saat ini, tarif PPh Badan yang berlaku adalah 25 persen, bahkan Pemerintah merniliki rencana untuk menurunkan tarif PPh Badan menjadi 18 persen.

"Perdebatan nailed down vs prevailing sudah saatnya tidak dimaknai sempit sekadar besaran pendapatan negara. melainkan pertimbangan kepastian hukum dan investasi di jangka panjang," kata Yustinus.